Minggu, 02 September 2007


Aliansi Jurnalis Independen atau AJI adalah organisasi profesi jurnalis, yang didirikan oleh para wartawan muda Indonesia pada 7 Agustus 1994 di Bogor, Jawa Barat, melalui penandatangan suatu deklarasi yang disebut "Deklarasi Sirnagalih". Meski didirikan sejak pembredelan tiga media --DeTik, Tempo, Editor pada 21 Juni 1994. Upaya atau ide untuk membuat organisasi jurnalis alternatif di luar PWI sebenarnya sudah lama ada. Terutama karena PWI dianggap lebih menjadi alat kepentingan pemerintah Soeharto dan tidak betul-betul memperjuangkan kepentingan jurnalis.

Aliansi Jurnalis Independen Sejarah
Sekitar tahun 1991, jauh sebelum pembreidelan tiga media, terjadi pertemuan informal belasan jurnalis di Taman Ismail Marzuki (TIM), Menteng, Jakarta Pusat. Dalam pertemuan tersebut, dibicarakan berbagai hal yang menyangkut kondisi pers Indonesia. Dalam pertemuan itulah, tercetus ide tentang perlunya membentuk organisasi jurnalis alternatif yang independen di luar PWI. Ada juga keinginan untuk membikin media sendiri. Sayangnya, pembicaraan itu tidak berlanjut menjadi aksi konkret.
Di berbagai kota, sebelum berdirinya AJI, sudah ada komunitas dan kelompok-kelompok diskusi jurnalis. Seperti, SPC atau Surabaya Press Club (Surabaya), FOWI atau Forum Wartawan Independen (Bandung), Forum Diskusi Wartawan Yogya atau FDWY (Yogyakarta), dan SJI (Solidaritas Jurnalis Independen) di Jakarta sendiri. Kemudian para aktivis jurnalis dari sejumlah komunitas inilah yang kemudian ikut bergabung membentuk AJI, lewat Deklarasi Sirnagalih. Untuk menghormati dan mengakui keberadaan komunitas-komunitas inilah, maka pada diskusi di Sirnagalih waktu itu dipilih nama "aliansi" untuk AJI, dan bukan "persatuan" seperti PWI.
Pembreidelan 21 Juni 1994 telah membantu menciptakan momentum, yang dibutuhkan bagi lahirnya sebuah organisasi jurnalis alternatif. Pembreidelan 21 Juni 1994 adalah semacam shock theraphy, yang menjelma menjadi bendera penggalangan solidaritas para jurnalis muda, untuk mewujudkan mimpi yang sudah lama terpendam untuk membentuk wadah jurnalis yang independen. Namun, benih-benih lahirnya AJI sebenarnya sudah tertanam jauh hari sebelum pembreidelan tersebut.
Setelah pembreidelan DeTik, Tempo dan Editor, para jurnalis muda yang didukung elemen mahasiswa, LSM dan seniman mengadakan sejumlah aksi menolak pembreidelan. Meski merasa pesimistis, waktu itu karena pertimbangan prosedural menemui pimpinan PWI Pusat yang diketuai Sofjan Lubis dengan Sekjen Parni Hadi, untuk meminta mereka memperjuangkan nasib para karyawan dan wartawan korban pembreidelan. Pada pertemuan pertama di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat itu, kami meminta, agar mereka berusaha bertemu langsung dengan Menteri Penerangan Harmoko. PWI berjanji mengupayakannya.
Sebulan kemudian, kami menemui lagi PWI Pusat dalam aksi tagih janji, dan mempertanyakan hasil pertemuan itu. Namun, nyatanya PWI gagal bertemu Harmoko dan gagal memperjuangkan nasib wartawan dan karyawan pers. Dari situ, para jurnalis muda lalu menyatakan ketidakpercayaannya lagi pada PWI. Saat itu, saya dan sejumlah rekan jurnalis sudah mencanangkan, hal ini akan berujung ke pembentukan organisasi jurnalis yang baru, karena PWI terbukti sudah tak efektif lagi dan sudah terlalu dikooptasi oleh penguasa.
Untuk menggalang dukungan sekaligus merancang langkah aksi berikutnya, diadakanlah pertemuan para jurnalis muda. Wisma Tempo di Sirnagalih, Jawa Barat, dipilih sebagai lokasi pertemuan, karena pertimbangan praktis, relatif dekat, dan bisa lebih dijamin keamanan dan kerahasiaannya. Pada waktu itu, memang tak mudah mencari pemilik gedung, yang mau meminjamkan gedungnya untuk kegiatan yang berseberangan dengan pemerintah. Undangan disampaikan secara diam-diam. Juga disebarkan undangan palsu, seolah-olah pertemuan akan berlangsung di tempat lain di Bandung, sehingga ada sejumlah jurnalis yang salah informasi, dan datang ke tempat yang salah.
Pertemuan jurnalis pun digelar, dengan elemen utama jurnalis dari empat kota Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Sebelum pertemuan, sudah terdengar kabar bahwa ada kelompok atau figur tertentu yang mengklaim bisa mengatur para jurnalis ini. Oleh karena itu, untuk menghindari politisasi, klaim-klaim sepihak, dan kabar miring, sejak awal kami meminta para jurnalis senior seperti Erros Djarot, Aristides Katoppo, Goenawan Mohamad dan Fikri Djufri untuk tidak datang pada tanggal 6 Agustus malam saat penggodokan konsep dan wadah gerakan oleh para jurnalis muda sedang berlangsung. Mereka baru datang esok harinya, 7 Agustus, ketika penggodokan telah selesai. Hal ini dilakukan untuk menghindari tuduhan bahwa AJI sebagai sekadar alat atau kepanjangan kepentingan dari tokoh-tokoh pers tertentu.

Tidak ada komentar: